BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Goodbye Agustus: Saat Rakyat Mengantar Harapan dengan Darah

Penalaut.com
- Agustus biasanya datang bersama semangat perayaan. Lagu-lagu kemerdekaan berkumandang, bendera merah putih berkibar di setiap sudut negeri, dan rakyat diajak mengenang perjuangan para pahlawan. Namun, Agustus 2025 tidak datang sebagai bulan kemenangan. Ia datang seperti luka yang belum mengering, seperti jeritan yang tak kunjung usai. Bulan ini tak diisi pesta, melainkan air mata. Tak diiringi tepuk tangan, tapi oleh suara tembakan, gas air mata, dan amukan massa yang haus keadilan.

Dari awal bulan, suasana sudah tak biasa. Di berbagai daerah, rakyat mulai turun ke jalan. Teriakan-teriakan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua menggema: mereka menuntut keadilan, menagih janji, dan melawan kebusukan yang mengakar di kursi-kursi kekuasaan. 

Api amarah membesar ketika terkuaknya skandal baru korupsi pejabat tinggi, yang seolah menampar wajah rakyat yang setiap hari bergelut dengan mahalnya harga sembako, pendidikan yang tak merata, dan layanan kesehatan yang timpang. Bukannya meminta maaf atau mundur, para pejabat itu malah bersembunyi di balik pengamanan, menyalahkan rakyat, dan tetap duduk nyaman di atas penderitaan.

Demo demi demo pecah. Mulanya damai, lalu dibalas represif. Peluru karet melayang, gas air mata menyelimuti jalanan, dan tubuh-tubuh muda rebah di aspal panas. Banyak yang ditangkap, bahkan dipukuli. Namun yang paling menyakitkan bukanlah kekerasan itu saja, melainkan diamnya para penguasa. Diam yang berarti pengkhianatan. Mereka yang seharusnya mendengar justru menutup telinga, mereka yang seharusnya hadir justru menghilang di balik istana megah yang dijaga ketat.
Lagu kebangsaan masih dinyanyikan, tapi tak lagi dengan semangat — melainkan dengan isak.
Tanggal 17 Agustus yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaan malah berubah menjadi hari berduka. Di tengah upacara bendera yang megah dan siaran televisi yang penuh simbol, rakyat menyalakan lilin di trotoar, membawa poster-poster wajah saudara mereka yang hilang atau tertembak. Lagu kebangsaan masih dinyanyikan, tapi tak lagi dengan semangat — melainkan dengan isak. Di hari itu, rakyat tidak merayakan ulang tahun republik, tapi mengenang kematian harapan.

Akhir Agustus semakin kelam. Demonstrasi besar-besaran memuncak. Di beberapa kota, kantor-kantor pemerintahan terbakar. Bendera setengah tiang dikibarkan oleh warga sendiri, bukan karena aturan negara, tapi sebagai tanda duka: duka atas hancurnya kepercayaan, dan gugurnya anak bangsa yang berani bersuara. “Reformasi Dikorupsi” bukan lagi slogan kosong — ia menjadi nyanyian luka yang menggema di dinding-dinding kota.

Agustus 2025 adalah titik balik. Sebuah catatan kelam dalam sejarah bangsa ini. Bulan di mana rakyat tidak lagi merayakan kemerdekaan, tapi mengantarkan harapan dengan darah. Di mana suara rakyat berubah menjadi raungan kesakitan, dan demokrasi terasa seperti lelucon pahit.

Goodbye Agustus — semoga dari luka ini, akan tumbuh keberanian baru untuk melawan. Sebab negara ini dibangun dari air mata dan perjuangan, bukan dari janji palsu dan kerakusan penguasa.


Oleh: Nashrul Mu'minin, Content Writer Yogyakarta
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak