BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Jangan Bermain

Penalaut.com
- Aku kesal sekali karena Ibu Nadin membentakku. Dia selalu mengatakan kamu harus belajar, harus pintar, harus rajin. Ketika aku membangkang, mukanya akan menekuk lalu matanya membesar seolah hendak meloncat keluar. 

Anak kecil itu waktunya main. Lihatlah papa atau mama, mereka selalu sibuk, mereka tidak pernah ada waktu istirahat atau sekadar untuk bermain. Aku sudah bulat akan belok dan menikmati masa kecil ini sebahagia dan sepuas mungkin dengan menghabiskan waktu untuk bermain. Tidakkah salah? Tentu tidak.

Di ruang tamu rumahku, aku merajuk dan memurung karena ingin bermain bersama teman-teman perumahan. Permintaan itu segera ditolak mentah-mentah lalu dia menyuguhkan beberapa tugas yang harus kuselesaikan saat itu juga. Dia duduk di sebelahku di atas karpet dengan tangan berada di meja membuka lembaran buku. Dia berujar pelan menerapkan nada menusuk seolah paham apa yang aku pikirkan.

"Tidak ada waktu, belajar! Besok ujian!"

Aku malingkan wajah menatap ke arah jendela. Di luar sana, terlihat anak seumuranku sedang bermain bola. Mereka membagi tawa yang sangat mengundang. Ingin sekali, aku langkahkan kaki lalu menendang bola hingga salah satu sendal terlempar menyasar tiang gawang invisibel itu. Dan, kami akan kembali tertawa, terus tertawa sampai hanya adzan magrib yang mampu memisahkan kita. 

Namun, ketika kakiku bangkit dan hendak bergerak menuju pintu, buru-buru dia menahan pergelangan tanganku lalu menarik supaya aku tetap berada di sampingnya. Aku kembali merajut sembari menciptakan lipatan-lipatan kecil di bibir.

Dia mengingatkan bahwa anak kecil bukan hanya sekadar bermain, melainkan harus belajar juga. Jawaban itu seharusnya ditujukan kepada mama dan bapak, sebab tindakan ini bermula dari sana. Pelan-pelan, pertanyaan lain mengurai dan membentuk berbagai cabang tentang mengapa aku harus belajar?

Dia menjawab dengan jawaban yang tidak bisa dipahami oleh anak berumur 9 tahun. Masa depan dan masa depan, apa itu? Aku hanya ingin menikmati hari ini tanpa peduli besok atau 30 tahun lagi akan menjadi apa. Kemudian, dia memegangi erat tangan kiriku sambil memancarkan cahaya dari mata yang hendak muncrat itu. 

Lagi-lagi, dia mengucap dengan nada suara yang sengaja dibuat kencang.

"Tidak boleh! Waktunya belajar!"

Tidak berani, aku langsung menatap matanya. Aku menjadi ketakutan lalu mengangguk mengiyakan. Tetapi, tetap, pertanyaan tentang mengapa aku tidak boleh bermain masih saja bersarang hingga mekar di kepala.

Saat jam menunjuk pukul 06 sore, aku rebahkan kepala di atas meja sembari menatapi ke arah jendela. Anak-anak itu masih menukar tawa, meski langit sudah tampak membiru. Mereka tidak peduli dengan ujian atau masa depan yang diceritakan oleh Bu Nadin. 

Lihat dan dengarkanlah muka dan suara teriakan mereka, kebahagian itu, adalah yang saat ini aku nantikan. Bisa dibilang, aku adalah anak yang sedang terengut masa kecilnya. Tidak ada keindahan. Hanya ada warna hitam tanpa goresan warna lainnya. Aku menang, tapi kalah. Aku berjalan, tapi pincang.

Aku selesaikan apa yang memang sudah menjadi kewajiban di depan Bu Nadin. Aku cermati dan pahami setiap soal lalu berhasil mengerjakan tanpa salah. Pada akhirnya, ini akan berujung pada nilai benar atau salah. Beruntungnya, kebenaran selalu berpihak kepadaku. Memang, ketika mendapat nilai sempurna ada kebahagian terselip di dada. Lubang kekosongan tadi akan tertambal dengan kebahagian ini beberapa saat sebelum kesepian kembali menyelinap. Sementara, di sana, Bu Nadin juga tampak melebarkan senyuman sembari mengucapkan beberapa kalimat pujian. 

"Bagus. Jenius. Kamu hebat!"

Berkali-kali dia ucapkan itu. Dia melihatku seperti anak atau adiknya sendiri. Mama dan papa memberi kebebasan dan tanggung jawab penuh kepadanya untuk mengasuhku terutama saat mereka tidak ada di rumah. Kini, dia benar-benar menjelma menjadi suatu sosok penting yang menyempurnakan kualitas akademikkku. Sejak kecil, sejak bersama dia pula, aku selalu mendapat nilai terbaik dan berada di rangking urutan pertama.

Ketika masih dibaluti rasa bahagia itu, aku membeberkan rencana bahwa besok aku akan sedikit menyisipkan waktu melakukan kegiatan lain di sekolah. Aku bilang pihak sekolah akan mengadakan pensi dan aku mengambil peran menjadi penari di pensi itu sehingga harus latihan untuk menyiapkannya. Aku mewanti-wanti supaya dia tidak menjemput karena aku akan pulang dengan bantuan Gojek.

"Kamu pulang jam berapa?"

"Paling lama abis magrib, Ibu."

"Jangan lebih dari itu, jangan main di luar kegiatan sekolah, kamu tahu itu, kan?"

Aku menganggukan kepala dengan mata kita saling menatap. Bu Nadin mengizinkan aku pergi. Tetapi, semua itu ada syarat lanjutnya. Dia memberikan satu syarat yang tidak bisa diganggu gugat, yaitu dia akan menjemput. Sebetulnya, aku menantikan bisa pulang dan pergi sendiri. Aku ingin menikmati jalanan kota lalu melihat-lihat toko mainan secara leluasa. Toh, aku adalah anak lelaki sembilan tahun. Di luar sana, anak seumuranku sudah bebas pergi kemana pun sendiri.

Dengan berat hati, aku sanggupi memenuhi syarat tersebut. Dia tersenyum lagi lalu memelukku erat sembari memejamkan matanya. Pelan-pelan dia meraba dan mengelus dari kepala hingga punggungku. Dia juga meminta maaf dan berterimakasih karena telah menuruti perkataannya. Aku menghayati pelukan dan bagaimana tangannya menepuk punggungku seolah mengatakan, 'aku bangga, aku senang.'

Kelembutan yang disalurkan oleh tangan, rasanya menenangkan. Aku seperti masuk ke dalam perasaannya dan memahami betapa besar rasa sayangnya untuk aku. Aku ingat beberapa tahun lalu ketika mama melakukan hal yang sama. Sejujurnya, aku merasa bahagia sebab kehadiran Bu Nadin benar-benar melengkapi bagian puzzle yang telah hilang.

Jam dinding menujuk pukul 12. Ternyata pihak sekolah telah membatalkan rencana persiapan pensi hari ini. Waktunya pulang, tetapi langkah kaki justru menolak bergerak keluar sekolah. Aku hanya mematung di depan pintu kelas melihat anak-anak yang sedang dijemput orang tuanya. Ada rasa iri menyelinap masuk begitu memandang ke arah sana. Seandainya, aku adalah anak anak itu. Lalu sebaliknya, tepat di gerbang sekolah itu juga tampak anak-anak kemarin sore. Mereka memanggilku. Mereka mengundangku untuk bermain bersama!

Tidak ada Bu Nadin di sini. Dia tidak mungkin tahu aku akan pergi bermain lalu kembali ke sini sebelum magrib. Semuanya akan baik-baik saja. Selain itu, ujian tadi juga berhasil aku kerjakan tanpa membekas kebingungan. Kenapa tidak menikmati hari, barangkali sejenak saja?

Dengan senyuman terpasang di wajah, aku merespon dan menghampiri mereka. Ketika berada di antara mereka, salah seorang menepuk pundakku dan mengucap.

"Ayo main.. jangan belajar terus. Cape.."

"Mau pada kemana nih?"

"Biasa, bola, yuk, gabung."

Aku mengiyakan dan mengikuti anak-anak ini menelusuri jalanan bergang sempit sampai tiba di suatu warung belakang sekolah. Di warung tersebut, terlihat beberapa remaja SMP sedang mengobrol dengan rokok di tangan dan asap mengepul pekat dari mulutnya. Aku hanya mengikuti teman-teman. Tidak pernah ada niat untuk pergi ke tempat seperti ini.

Kemudian, anak yang tadi menepuk pundak memberikan aku sebatang rokok sembari mengucap.

"Gapapa cobain. Enak kok. Nih, liat gue juga udah nyoba." 

Aku berusaha menolak, tetapi hati kecilku mengatakan, aku harus melakukannya siapa tau memang betul enak. Aku gapai dan bakar lalu mendekatkan sebatang rokok ke mulut. Embusan pertama mengasap indah.

"Gimana rasanya?"

Entahlah, apa yang aku rasakan. Yang jelas, ada rasa kepuasan begitu pertama kali mengisapnya. Aku tambahkan isapan untuk kedua kalinya.Aahh.

Asap kembali mengepul lalu disambut oleh tertawaan anak-anak. Ketika aku mulai menghayati dan menikmati setiap hembusan rokok, dari ujung lorong gang, suatu motor yang terdengar tak asing bergerak cepat mendekat. Dia hentikan motornya beberapa meter di depan kami. Namun dari kejauhan, melihat bentuk motornya, aku sudah mampu menebak siapa orang itu.

Maaf Ibu Nadin. Kali ini, aku benar-benar belajar.


Oleh: Muhamad Anugrah Putra
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak