BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Recent

Bookmark

Tuntutan 17+8 Tidak Menjawab 5 Permasalahan Mendasar Bangsa Indonesia Saat Ini

Penalaut.com
- ‎Gelombang demonstrasi yang lahir dari keresahan masyarakat belakangan ini memunculkan tuntutan 17+8. Ia dipandang sebagai “senjata rakyat” untuk mengoreksi DPR, pemerintah, dan aparat keamanan. Isinya padat, lugas, dan secara retorika berhasil menggugah kesadaran publik.

‎Namun, apakah tuntutan itu menjawab keseluruhan problem bangsa? Jawaban sederhananya: TIDAK.

‎Indonesia, dengan kompleksitas sosial, ekonomi, dan politiknya, tidak mungkin direduksi menjadi sekadar 25 butir tuntutan politik. Persoalan bangsa jauh lebih mendasar: kemiskinan struktural, stunting, korupsi sistemik, krisis pendidikan, dan kehancuran ekologi. Lima masalah besar ini tidak disentuh serius dalam 17+8.

‎Lebih ironis lagi, aktor-aktor besar masyarakat sipil seperti ormas besar Islam (NU, Muhammadiyah), mahasiswa, bahkan pemerintah sendiri tampak gamang. Mereka seolah kehilangan visi revolusioner untuk membangun agenda bangsa yang benar-benar menjawab tantangan.
‎Seperti diingatkan Benedict Anderson (1991) dalam Imagined Communities, bangsa adalah proyek imajinasi kolektif. Tetapi tanpa arah yang jelas, imajinasi itu bisa macet, hanya jadi slogan, bukan strategi.

‎Data BPS (Maret 2025) menunjukkan angka kemiskinan Indonesia masih 8,47% atau sekitar 23–24 juta orang. Bank Dunia (2023) bahkan mengingatkan Indonesia rawan terjebak dalam middle income trap.

‎Amartya Sen (1999) menulis dalam Development as Freedom: “Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk mengakses kapabilitas dasar, bukan sekadar ketiadaan pendapatan.”

‎Ironinya, 17+8 lebih sibuk menyoal tunjangan pejabat daripada mendesak transformasi ekonomi rakyat. Padahal, bagi jutaan petani, nelayan, dan buruh informal, problemnya adalah akses pada tanah, modal, dan pasar.

‎NU dengan basis pesantren desa, atau Muhammadiyah dengan jaringan amal usaha modern, mestinya mampu mengadvokasi reforma agraria, UMKM berbasis komunitas, hingga industrialisasi kecil-menengah. Tetapi sejauh ini, suara mereka cenderung samar, kalah oleh retorika harmoni politik.

‎Disisi lain Indonesia masih menghadapi angka stunting 21,6% (SSGI, 2022). UNICEF (2023) menegaskan bahwa stunting dapat mengurangi potensi ekonomi hingga 3% PDB per tahun.
‎Ini bukan sekadar soal gizi. Ini soal masa depan bangsa. Bonus demografi hanya akan menjadi “bencana demografi” jika generasi mudanya tumbuh kerdil, lemah, dan tidak produktif.
‎Tetapi, apakah isu ini masuk 17+8 ? TIDAK.

Apakah NU dan Muhammadiyah menjadikannya isu utama? Sayangnya, hanya sebatas kampanye program kesehatan kecil-kecilan. Bahkan, dalam merespons isu 17+8, keduanya cenderung ambivalen. Padahal, kedua ormas ini punya jaringan rumah sakit dan sekolah yang bisa menjadi pionir gerakan anti-stunting nasional.

Mahasiswa yang turun ke jalan pun lebih ramai bicara soal DPR, bukan tentang anak-anak balita yang kehilangan masa depan. Jika ingin revolusioner, gerakan mahasiswa seharusnya berani bicara pangan bergizi, subsidi kesehatan, dan keadilan nutrisi.

‎Transparency International (2024) memberi Indonesia skor 37/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Korupsi di Indonesia ibarat kanker stadium akhir: tidak hanya menyerang DPR, tetapi juga birokrasi daerah, lembaga peradilan, hingga aparat penegak hukum.

‎Robert Klitgaard (1991) sudah mengingatkan: “Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability.”

‎Dalam konteks ini, 17+8 hanya menyasar gejala DPR, bukan akar monopoli dan diskresi birokratis yang membuat korupsi mengakar.
‎Ormas besar Islam d Indonesia pun jarang mengangkat isu korupsi sebagai agenda jihad sosial. Kritik mereka sering abstrak, moralistis, tanpa desain kebijakan nyata. Mahasiswa pun kerap lebih sibuk pada isu jangka pendek ketimbang mengawal reformasi birokrasi.
‎Padahal, tanpa revolusi anti-korupsi, seluruh agenda pembangunan hanyalah fatamorgana.

‎Hasil OECD PISA 2022 menempatkan Indonesia di urutan bawah dalam membaca, matematika, dan sains. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal.

‎Tanpa pendidikan berkualitas, tidak ada demokrasi yang sehat, tidak ada ekonomi yang berdaya saing. John Dewey (1916) menulis:
‎“Democracy has to be born anew every generation, and education is its midwife‎”

‎Namun, dalam 17+8, isu pendidikan nyaris absen. Mahasiswa pun ironis: mereka menuntut demokrasi, tetapi tidak banyak bicara soal kualitas kampus, dosen, dan riset.

‎Muhammadiyah dengan universitasnya, atau NU dengan pesantrennya, seharusnya memimpin reformasi pendidikan nasional. Sayangnya, energi lebih banyak dihabiskan pada politik internal daripada memperjuangkan kurikulum, literasi, dan teknologi pendidikan.

‎Ditempat lain yang jarang disentuh publik, Indonesia terus kehilangan hutan primer: lebih dari 200 ribu hektare per tahun (Global Forest Watch, 2024). Karhutla berulang, pencemaran air dan udara meningkat, serta eksploitasi tambang yang merusak ruang hidup masyarakat adat.
‎Tetapi, apakah ini masuk dalam 17+8? Lagi-lagi TIDAK.

‎Apakah NU dan Muhammadiyah bicara keras soal krisis iklim? Suaranya masih lirih. Padahal, Qur’an dan Hadis jelas menekankan amanah manusia sebagai khalifah fil ardh — penjaga bumi.
‎Pemerintah sibuk mengejar investasi, sementara mahasiswa lebih banyak membahas isu politik elektoral. Krisis ekologi tidak populer, padahal dampaknya eksistensial. Pemerintah terjebak dalam politik simbolis dan respons jangka pendek. Gagal menawarkan roadmap pembangunan struktural yang mengatasi kemiskinan, gizi, pendidikan, dan lingkungan.

‎Ormas Islam dekat dengan kekuasaan, tapi jauh dari rakyat. Lebih sibuk menjaga harmoni ketimbang menggugat akar masalah. Potensi besar (jaringan pesantren, sekolah, rumah sakit) dikecilkan menjadi program karitatif, bukan transformatif.

‎Gerakan mahasiswa masih elitistik dan reaktif. Lebih sering bicara soal DPR daripada isu keseharian rakyat: harga pangan, stunting, pendidikan, dan ekologi. Kehilangan imajinasi revolusioner yang dulu menjadi ciri gerakan mahasiswa 1966 atau 1998.

‎Indonesia butuh dua hal sekaligus:
  1. ‎Tuntutan politik jangka pendek seperti 17+8 untuk mengawal akuntabilitas.
  2. ‎Agenda struktural jangka panjang untuk menyelesaikan akar masalah bangsa.
‎Saatnya Bangun Agenda Revolusioner Bangsa !!! Tuntutan 17+8 memang penting sebagai simbol perlawanan terhadap elite politik. Tetapi ia tidak menjawab 5 permasalahan mendasar bangsa: (kemiskinan, stunting, korupsi sistemik, pendidikan rapuh, dan krisis ekologi). ‎

Ormas besar Islam (NU dan Muhammadiyah), pemerintah, dan mahasiswa seharusnya tidak berhenti pada politik simbolis. Mereka harus berani masuk ke arena struktural, menggugat akar persoalan, dan merancang agenda revolusioner bangsa.

‎Tanpa itu, 17+8 hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah: nyaring di jalanan, tapi sunyi dalam perubahan nyata.
Oleh: Slamet Ichlasul Amal

Referensi:

‎Ambardi, K. (2008). The Making of Indonesian Democracy. LP3ES.

‎Anderson, B. (1991). Imagined Communities. Verso.

‎BPS (2025). Persentase Penduduk Miskin Maret 2025.

‎Dewey, J. (1916). Democracy and Education. Macmillan.

‎Klitgaard, R. (1991). Controlling Corruption. University of California Press.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak